MediaJustitia.com: Pembangunan ruas jalan Trans-Papua merupakan realisasi program Presiden Joko Widodo untuk menggiatkan pembangunan infrastruktur dan konektivitas antarwilayah di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Jalan Trans-Papua membentang dari Kota Merauke, Provinsi Papua hingga Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan panjang sekitar 4.330 kilometer. Pembangunan jalan ini masuk dalam proyek strategis nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Kehadiran jalan Trans-Papua sangat menguntungkan karena bisa memangkas waktu distribusi barang dan membuat harga bahan menjadi lebih terjangkau. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membuka akses jalan antar daerah, pembangunan Jalan Trans-Papua menuai perdebatan antar masyarakat.
Jalan Trans-Papua dinilai mengganggu sumber penghidupan dan meningkatkan komersialisasi pemanfaatan hasil alam masyarakat adat. Dari segi kelestarian lingkungan, jalan Trans-Papua memberikan dampak yang tidak baik terhadap ekosistem hutan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memprediksi pembangunan jangka panjang proyek Jalan Trans-Papua dapat memusnahkan 12.469 hektare tutupan hutan atau sekitar tiga kali daripada kota Yogyakarta. Sementara 4.772 hektare lahan yang terancam merupakan hutan lindung.
Hilangnya tutupan hutan dan hutan lindung berdampak pada terancamnya keberadaan flora dan fauna yang dilindungi, seperti Anggrek Kasut Ungu dan Kanguru Pohon Mbaiso yang merupakan makhluk hidup endemik di beberapa area hutang di sekitar jalan Trans-Papua.
Atas dampak yang telah terjadi dan diprediksi akan bertambah buruk, WALHI menyarankan pemerintah untuk membangun jalan yang ramah terhadap lingkungan dengan merujuk pada penelitian dan refrensi yang terpercaya. Selain itu WALHI juga berpesan agar dibuatkannya peraturan daerah atau keputusan gubernur atau bupati/walikota terkait perlindungan serta pengakuan wilayah kelola adat dan masyarakat adat.